Masih Ublek-Ublek Seputar SEJARAH LASEM.
Sungguh menarik sejarah Lasem, karena daerah ini menyimpan sejarah tokoh yang sangat populer dalam proses penyebaran Agama Islam di Jawa. Tokoh yang dimaksud adalah SUNAN KALIJAGA. Selama ini sejarah Sunan Kalijaga umumnya hanya bersumber dari Babad Tuban dan silsilah garis keturunan hanya sebatas dalam lingkup bangsawan Tuban. Namun sebagai pembanding, kita juga dapat menggunakan Babad atau Carita Lasem untuk melengkapi kesejarahan tokoh ini.
Berdasarkan keterangan Carita Lasem yang digubah oleh Ki Khamzah pada tahun 1858, maka kira-kira silsilah Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut. Silsilah dimulai dari Bhre Lasem Dewi Indu, saudara perempuan Prabu Hayam Wuruk. Bhre Lasem menikah dengan Bhre Matahun, Rajasawardhana. Dewi Indu menurunkan Pangeran Badrawardana, kemudian Pangeran Badrawardana menurunkan Pangeran Wijayabadra, Pangeran Wijayabadra kemudian menurunkan Pangeran Badranala. Mereka secara turun-temurun menjadi Adipati di Lasem.
Pangeran Badranala menikah dengan Bi Nang Ti, putri dari Bi Nang Un, pujangga dari negeri Champa yang pernah menjadi juru mudi Kapal Laksamana Cheng Ho. Pangeran Badranala menurunkan dua putra, yaitu bernama Pangeran Wirabraja dan Pangeran Santibadra. Ketika Pangeran Badranala wafat, putra sulungnya, Pangeran Wirabraja naik tahta menjadi Adipati Lasem. Sementara Pangeran Santibadra bertugas sebagai penjaga keraton Kriya Lasem dan sebagai penguasa pelabuhan (Dhang Puhawang).
Pangeran Wirabraja menurunkan Pangeran Wiranagara. Pangeran Wiranagara sejak kecil telah belajar agama Islam kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan mondok di Pesantren Ngampelgadhing. Kemudian Pangeran Wiranagara dinikahkan dengan putri sulung Sunan Ampel, yaitu Nyai Malokah. Ketika Pangeran Wirabraja wafat, maka Pangeran Wiranagara naik tahta menjadi Adipati Lasem. Pangeran Wiranagara memiliki putri bernama Sholikah yang di kemudian hari diperistri oleh Pangeran Jim Bun atau Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak.
Pangeran Wiranagara wafat dalam usia muda dan jabatan Adipati Lasem digantikan oleh istrinya, Nyai Malokah. Kemudian Nyai Malokah mengangkat adiknya yaitu, Raden Makdum Ibrahim untuk menjadi pemimpin sekaligus menyebarkan agama Islam di Bonang Binangun. Raden Makdum Ibrahim juga diminta oleh Nyai Malokah untuk merawat dan menjaga makam leluhur suaminya yaitu, makam Bi Nang Ti. Di kemudian hari, Raden Makdum Ibrahim dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Sunan Bonang.
Sementara mengenai riwayat Pangeran Santibadra, ia berputra Pangeran Santipuspa dan 9 orang adik-adiknya. Suatu ketika Pangeran Santibadra dipanggil ke Keraton Majapahit untuk menjalankan tugas negara selama 10 tahun lamanya. Karena itu, jabatan Dhang Puhawang di Lasem diserahkan kepada putra sulungnya, yaitu Pangeran Santipuspa. Walaupun jabatan Adipati Lasem dipegang oleh Nyai Malokah, namun dalam praktiknya Pangeran Santipuspa yang memiliki pengaruh kuat dalam menjalankan roda pemerintahan di Lasem. Ketika Nyai Malokah wafat, maka jabatan Adipati Lasem langsung diambil alih oleh Pangeran Santipuspa. Setelah Pangeran Santipuspa menjabat sebagai Adipati Lasem, Sunan Bonang merasa tugasnya di Bonang Binangun sudah selesai. Ia kemudian memutuskan kembali ke Tuban.
Pangeran Santipuspa memiliki adik bungsu bernama Pangeran Santikusuma. Jarak usia mereka terpaut sangat jauh. Ketika Pangeran Santikusuma berusia 2 tahun, ia ditinggal wafat oleh ibunya dan kemudian ditinggal pula oleh ayahnya, Prabu Santibadra untuk mengabdi ke Keraton Majapahit. Karena itu, Pangeran Santipuspa selaku kakak tertuanya, bertugas merawat dan membesarkan Pangeran Santikusuma. Di sela-sela kesibukannya sebagai Adipati dan Dhang Puhawang di Lasem, Pangeran Santipuspa selalu meluangkan waktu untuk mengajar Pangeran Santikusuma tentang nilai-nilai spiritual, kesenian dan kebudayaan. Semua ilmu itu adalah ilmu yang dulu diterimanya dari sang ayah, Pangeran Santibadra.
Masa kecil Pangeran Santikusuma selalu ditemani oleh tiga orang punakawan atau pamomong. Mereka bernama: Ging Hong, Kecruk dan Palon. Ketiga pamomong tersebut sangat setia melayani dan merawat Pangeran Santikusuma dengan kasih sayang sampai akhir hayatnya. Ketika tiga pamomong itu wafat, mereka dimakamkan di dekat makam Nyai Malokah di Pelabuhan Kaeringan.
Sementara Pangeran Santikusuma tumbuh menjadi jejaka yang haus ilmu pengetahuan. Ia suka berkelana dan belajar kepada siapa saja serta di mana saja. Semakin hari wawasannya semakin luas dan budi pekertinya pun semakin halus. Hingga akhirnya pada usia 19 tahun, Pangeran Santikusuma merasa begitu tertarik dengan Agama Islam yang saat itu mulai berkembang di wilayah pesisir utara. Pangeran Santikusuma akhirnya mohon ijin kepada Pangeran Santipuspa untuk belajar Agama Islam pada kakeknya di Tuban. Pangeran Santikusuma kemudian diberi nama Islam oleh kakeknya dengan nama Raden Said.
Carita Lasem menyebutkan bahwa kakek Pangeran Santikusuma atau Raden Said adalah Adipati Tuban, namun tidak disebutkan siapa namanya. Kemungkinan besar tokoh yang dimaksud sebagai kakek Raden Said adalah Arya Teja. Di sinilah titik pertemuan antara Carita Lasem dengan Babad Tuban. Dengan demikian, ayah Raden Said, yaitu Pangeran Santibadra menikah dengan putri dari Adipati Tuban, Arya Teja. Dalam Babad Tuban, sosok Pangeran Santibadra disebut bernama Tumenggung Wilwatikta.
Orang-orang di Lasem sangat menghormati Raden Said, karena itu mereka memanggilnya dengan gelar “Pangeran Lokawijaya”. Bahkan Adipati Jim Bun (Raden Patah) yang ketika itu dianggap sebagai orang kuat di Glagah Langu, seorang perompak yang sangat ditakuti, seketika tunduk dan bertobat tatkala bertemu dengan Raden Said. Karena demikian besarnya kharisma Raden Said di wilayah Glagah Langu, maka masyarakat menyebutnya dengan gelar Panembahan ing Glagah Langu. Bahkan Sunan Bonang yang usianya lebih tua dan lebih senior juga menaruh hormat pada Raden Said, karena merasa kalah pamor dan wibawanya. Raden Said di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Begitulah kira-kira ringkasan riwayat Sunan Kalijaga berdasarkan keterangan Carita Lasem. Jika ada kurangnya, silahkan para suhu dan simbah untuk menambahkan.
Colek Mas Slamet Haryono 😊😊
-----------------------------------------------
Gambar Lukisan Visualisasi Sunan Kalijaga.
Entah siapa pelukisnya. Sangat bagus, cuma menurut saya busana yang dikenakan terlalu Mataraman, agak kurang pas dengan suasana pada masa hidup Sunan Kalijaga. Tapi sudah terlanjur memasyarakat ........ ya sudahlah.
Sumber info : Facebook
0 Comments :
Ad Code
Tags
Featured Post
Categories
Tags
Recent Posts
Recent in Sports
Footer Menu Widget
Contact
Popular Posts
-
Hal Unik dan Menarik dari Belalang Sembah atau Sentadu Jare wong jawa mah CONGCORANG Belalang sentadu atau belalang sembah adalah ...
-
Pada mulanya pulau Jawa memang dihuni oleh orang Jawa. WONG JOWO KARI SEPARO WONG CINO KARI SEJODO adalah salah satu dari ramala...
-
Mungkin sebagian dari kita belum sepenuhnya tau apa arti sandi 86 yang sering kita dengar, Jangan sampai salah penerapan dalam keseharian ...
Posting Komentar